Jumat, 13 Januari 2012

Rabun Sastra

Hal yang menggelitik ketika mempertanyakan apakah kita mengidap 'rabun sastra'. Sejak tahun 2003, Taufik Ismail sudah mempersoalkannya. Diawali dengan melakukan survey sederhana dengan mewawancarai lulusan SMA dari 13 negara. Meskipun hanya berupa snapshot dan potret sesaat, hasilnya benar-benar membuat kita tersentak.
"Jika siswa SMA di Amerika Serikat menghabiskan 32 judul buku selama tiga tahun, di Jepang dan Swiss 15 buku, siswa SMA di negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Brunei Darussalam menamatkan membaca 5-7 judul buku sastra, siswa SMA di Indonesia 0 buku. Padahal pada era AMS Hindia-Belanda (era Algemeene Middelbare School) siswa diwajibkan membaca 15-25 judul buku sastra".
Hasil snapshot tersebut semakin memperteguh asumsi bahwa selama ini pengajaran sastra dan bimbingan mengarang di sekolah-sekolah kita kian memprihatinkan. Dihadapkan pada kenyataan ini, pekerjaan besar yang harus diagendakan adalah bagaimana meyakinkan berbagai pihak, terutama para pengambil kebijakan, bahwa usaha perbaikan harus dilakukan. Pemahaman bahwa kegiatan membaca dan mengarang bagaikan dua saudara yang tak terpisashkan harus mulai ditanamkan. Semaikin banyak siswa membaca, maka makin bagus karangannya. Kegemaran membaca harus mulai di pupuk melalui buku-buku sastra, yang pada gilirannya akan melebar ke jenis bacaan lain.
Sebagai "agen perubahan dan peradaban" sekolah mestinya bisa dimanfaatkan sebagai ruang dan media yang strategis untuk mengakarkan dan sekaligus menguatkan nilai-nilai moral, religi, dan budaya. Namun, jujur saja sekolah-sekolah di negeri kita sering nampak gedungnya saja yang megah, tapi kualitas pembelajarannya 'hancur' dan babak belur. Para siswa tidak di ajak untuk mengapresiasi (baca: memahami dan menikmati) teks-teks sastra yang sesungguhnya, tetapi hanya sekedar menghafal nama-nama sastrawan berikut hasil karyanya. Dengan kata lain, apa yang disampaikan guru dalam pembelajaran sastra barulah kulit luarnya saja sehingga peserta didik gagal menikmati "lezat"-nya isi dan aroma kandungan nilai dalam karya sastra. Kondisi pengajaran sastra yang semacam itu tidak saja memprihatinkan, tetapi juga telah "membusukkan" proses pencerdasan emsional dan spiritual siswa.
Minimnya buku-buku sastra yang berkualitas di perpustakaan sekolah. Kalau toh ada, pada umumnya buku-buku semacam itu nyaris tak tersentuh, buku sastra dibiarkan bertumpuk, bahkan mungkin debunya lebih tebal ketimbang bukunya. Fenomena ini menandakan betapa sastra di negeri ini hanya sekedar produk budaya yang terpajang di sebuah "etalase" yang miskin peminat dan pencinta.


Diskusi Sastra

Sebagai studi kultural, diskusi-diskusi kesastraan jelas berbeda dengan organisasi. Diskusi kesastraan biasa bersifat spontanitas, timbul pada saat terjadi suatu permasalahan yang harus dipecahkan, dan kemudian berhenti apabila permasalahan dianggap sudah mencapai kesimpulan, sudah selesai. Diskusi sastra merupakan arena yang tepat. Sifatnya adalah mengantisipasi kemungkinan bentuk kebudayaan pada masa yang akan datang. Mengenai peranan sastra untuk masyarakat, mungkin potensi belum tergali sebagaimana kenyataanya, tetapi melalui diskusi dan perdebatan sastra permasalahan tersebut terungkapkan.
Para argumentator diskusi sastra, disamping sebagai budayawan juga adalah pendidik, baik sebagai guru maupun dosen. Sangatlah wajar jika apabila dalam diskusi sastra masalah pendidikan juga merupakan perdebatan yang berhak mendapat porsi yang sesuai dengan kata lain patut untuk diperdebatkan secara serius. Dengan memberikan pemahaman ulang terhadap peristiwa-peristiwa bersejarah masa lampau, berarti telah meletakkan dasar-dasar yang kuat terhadap eksistensi kepribadian bangsa. Bentuk pemahaman yang kuat dan tak terbatas penting artinya terhadap relevansinya dengan masa kontemporer. Hakikat perdebatan, diskusi sastra dan pendidikan sebagaimana disepakati saat bangsa indonesia memperjuangkan kemerdekaannya, juga relevan untuk merekonstruksi model-model pemikiran kontemporer, baik modernisme maupun postmodernismse.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar